Hari Itu



         Hari itu, hari yang aku pikir tidak akan pernah datang. Hari yang bahkan tidak berani aku impikan. Hari itu, mengingatkan aku tentang bagaimana hangatnya hari ini. Tentang rasa syukur yang tak pernah cukup aku ucapkan. Hari yang hanya aku ceritakan pada bantal, selimut dan sprai lewat air yang selalu gagal aku hentikan terjatuh dari mataku. Namun, hari ini akan aku ceritakan, hanya disini. Untuk menceritakannya, aku harus kembali jauh ketika aku masih di bangku Sekolah Dasar.

        Saat itu aku hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Termasuk ketika kedua orang tuaku tidak saling bicara. Entah mengapa, aku pun tidak pernah bertanya. Aku merasa seolah tahu, bahwa aku dilarang untuk ikut campur.

        Aku ingat, saat pembagian rapot SD. Semua teman-temanku menceritakan rencana liburan mereka bersama keluarganya. Aku hanya bisa mendengar dengan perasaan iri dan membual tentang rencana liburanku dan keluargaku. Saat masuk nanti, guru pasti akan menyuruh kami menceritakan tentang liburan kami. Disaat anak-anak lain menceritakan dengan semangat dan tawa diwajah mereka, tentang bagaimana asyiknya liburan mereka, aku hanya bisa mengarang cerita indah yang bahkan tak pernah ada dalam mimpi ku.

        Ketika malam tiba, aku selalu tidur dengan bantal yang basah. Tertidur setelah lelah memanjatkan doa yang selalu sama setiap malamnya. “Ya Allah, satu kali saja, beri aku kesempatan walaupun hanya satu kali. Aku juga ingin merasakan keluarga yang utuh. Dimana ibu dan bapak saling bicara lagi dan bercengkrama dengan kami.” Hanya itu.

          Semua orang dikeluargaku berkata, hal itu tidak mungkin terjadi. Nenek, tante, paman, mereka berkata keluargaku tidak mungkin utuh kembali. Sakit sekali mendengar itu. Tapi, harapanku masih tersisa. Ketika aku melihat bapak yang selalu menangis dalam diam dalam setiap doa malamnya. Ketika aku masih melihat ibu yang menyembunyikan air matanya ketika melihat bapak bersama orang lain. Harapan ku masih ada.

          Aku terus berharap setiap hari, setiap malam, bertahun. Selalu berharap hal yang sama. Aku terus berharap sampai aku larut dalam ucapan ‘tidak mungkin.’ Harapanku sudah sampai pada titik kepasrahan. Aku sudah bisa menerima jika memang saat itu, kami tidak mungkin menjadi puzzle yang utuh kembali.
Hari-hari mulai berlalu. Aku mulai terbiasa dengan keadaan keluargaku. Teman-teman yang mengeliliku membuat aku lupa untuk merindukan rumah. Aku mulai belajar membenci malam. Karena aku harus kembali ketempat dingin, sunyi dan sendiri lagi. Aku mulai melupakan harapan dan doa yang seharusnya tidak aku hentikan. Aku mulai mengabaikan perasaan-perasaan sesak yang terkadang datang tanpa bisa aku cegah. Aku mulai bisa menerima rasa sakit ditenggorokkan ku saat harus menahan emosi dan air yang biasa aku biarkan mengalir.
         
            Semua itu membuat aku merasa semakin kuat. Tapi, semakin aku merasa diriku kuat semakin aku merasa pula bahwa aku sangat rapuh dan lemah. Aku mulai kembali kepada Sang Pencipta. Tidak meminta apapun. Hanya ingin merasa dekat. Namun, aku tahu, jauh didalam lubuk hatiku, aku masih mengingankan harapan yang sama.

         Sampai ketika aku tamat sekolah menengah pertama dan berhasil masuk sekolah favorit. Saat itu aku ingat bagaimana ibu tersenyum bangga. Aku sudah melupakan doa-doa yang selalu aku panjatkan. Aku merasa sudah cukup jika ibu bisa tersenyum. Tapi, Allah selalu punya rencana dan kejutan yang tidak bisa aku terka. Untuk pertama kalinya dalam 6 tahun, aku bisa merasakan rangkulan ibu dan usapan tangan bapak dikepala ku diwaktu yang sama. Aku bisa melihat mereka berbicara kembali. Tidak ada tatapan marah, benci atau sedih. Semua terasa hangat. Aku terkesima saat itu. Mendadak dunia menjadi hening. Otakku sangat lambat memproses segala hal. Ternyata, Dia menjawab harapanku. Tuhan, apalagi yang bisa aku pinta pada-Mu? Seolah aku baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Seolah 6 tahun terburuk dalam hidupku itu tak pernah terjadi.

         Hari itu, semua terjadi begitu saja. Kami, aku, ibu, bapak, adik dan kakak, kami makan bersama. Bercengkrama bersama. Tertawa bersama. Tidak pernah mempertanyakan hari-hari kelam kemarin. Sampai pada detik ini, ketika aku harus kembali pada saat itu, aku masih bisa merasakan semua emosi, marah, kesal, benci, sedih, kecewa, haru dan bahagia. Sampai detik ini pun, aku masih tidak bisa percaya.

"Tidak ada do'a yang tidak didengar oleh Nya. Percayalah"

#DaftarOdop6

Posting Komentar

0 Komentar